Article

 

Last updated: 27-09-2024 time 8:05 pm

Unidentified Risk: Yang Tersembunyi

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD., CRBC. /Tanggal: 15 Desember 2022

Beberapa metode untuk melakukan identifikasi risiko berbasis ISO 31010 seperti diantaranya  brainstorming, teknik Delphi, wawancara terstruktur dan semi-terstruktur dan seterusnya merupakan beberapa alat bantu dan teknik yang digunakan untuk proses penilaian risiko. Proses penilaian risiko sendiri menurut versi  ISO 31010 dimulai dari indentifikasi risiko, analisis risiko dan evaluasi risiko. Identifikasi risiko sebagaimana telah disebutkan diatas terdiri dari berbagai macam teknik alat bantu. Untuk analisis risiko terbagi  lagi menjadi tiga aspek yaitu adanya konsekuensi, probabilitas dan tingkat risiko. Sedangkan untuk evaluasi risiko dengan memonitor seluruh tahapan dari proses risiko. Masing-masing dari tahapan proses penilaian risiko ada yang bersifat sulit untuk dapat diterapkan (not applicable), dapat diterapkan (applicable) dan sangat baik untuk diterapkan (strongly applicable). Proses penilaian risiko merupakan bagian dari risk management yang digunakan oleh berbagai perusahaan dalam menilai eksposur risiko yang “akan” dihadapi oleh perusahaan. Penggunaan kata “akan” menyiratkan bahwa risiko merupakan sebuah event, probability dan impact  bisa saja terjadi atau tidak terjadi pada masa yang akan datang (future time).

Proses penilaian risiko dilakukan di semua tingkatan manajerial dari tingkatan eksekutif perusahaan (top-management), bagian tengah perusahaan (middle-management) sampai dengan bagian paling bawah (floor-management) dalam hierarki perusahaan. Penilaian risiko dilakukan oleh perusahaan untuk mengukur seberapa besar kemungkinan adanya dampak negatif (tantangan) dan dampak positif (peluang) yang ada bagi perusahaan di masa depan untuk mendukung pertumbuhan perusahaan. Sebagaimana kita ketahui lazimnya sebuah entitas – terutama perusahaan – tujuan utamanya adalah menciptakan laba (profit), pertumbuhan (growth) dan keberlangsungan usaha (sustainable).  Tidak ada perusahaan yang bertahan menanggung kerugian dalam jangka panjang.  Respon perusahaan terhadap tingkat risiko yang bersedia diambil oleh perusahaan adalah berbeda-beda untuk setiap perusahaan. Tergantung kepada – diantaranya – lini bisnis perusahaan, lingkungan dimana perusahaan beroperasi dan juga karakter para pimpinan dalam menghadapi serta menyikapi risiko maupun faktor-faktor lainnya baik faktor eksternal perusahaan maupun faktor internal perusahaan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan bisnis perusahaan.

Setiap teknik dan alat bantu dalam proses penilaian risiko, masing-masing teknik memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan dan kekurangan dari setiap teknik penilaian risiko dapat saling melengkapi satu sama lain. Setiap teknik memiliki tingkat kesalahan (error-term) nya masing-masing. Keberagaman teknik penilaian risiko menjadi tantangan tersendiri dan menjadi semakin menarik dalam melakukan proses penilaian risiko. Beberapa risiko cukup mudah untuk kita identifikasi, sebagai contoh misalnya “risiko kebakaran” cukup mudah untuk kita lakukan identifikasi.  Sering kita harus berimajinasi untuk melakukan identifikasi risiko. Tidak semua risiko dapat diidentifikasi dengan sempurna. Mungkin saja ada risiko-risiko yang tidak teridentifikasi, tidak tercium, tidak terlihat bahkan tidak terduga seperti yang kita bayangkan. Risiko-risiko inilah – menurut hemat penulis – yang disebut “Risiko yang tidak teridentifikasi” (“Unidentified Risk”). Penulis memberikan pendekatan pemahaman untuk terminologi “Unidentified Risk” sebagai berikut: “Unidentified Risk merupakan sejumlah risiko yang tidak diketahui (unknown), tersembunyi atau tidak dapat di bayangkan di masa depan”. Diperlukan upaya “imajinasi lebih” untuk mengidentifikasi adanya “Unidentified Risk”.  Sebagai contoh, katakanlah adanya risiko membenturnya Bulan ke Bumi memiliki peluang kira-kira sebesar 0,000000001 bukan termasuk unidentified risk, karena risiko ini masih dapat dibayangkan melalui imajinasi. Pada prinsipnya tidak ada yang dapat memprediksi secara akurat kejadian di masa depan. Tidak ada alat prediksi yang benar-benar akurat untuk memprediksi kejadian di masa depan. Masa depan adalah “the unseen”. Dalam sebuah universe apapun berubah. Hanya “The Almighty” yang tidak berubah baik dulu, sekarang maupun nanti. Tidak berawal dan tidak berakhir.  Akan tetapi tetap kita wajib memiliki rencana (free will) untuk esok hari, minggu depan, bulan depan , tahun depan, atau bahkan rencana strategis untuk 3 atau 5 tahun ke depan. Tetap optimis meneropong masa depan. Dalam konteks perusahaan jika para manager dan top executive menganut paham predestination maka kemungkinan besar perusahaan tidak akan berkembang. Risiko perlu dikelola dengan baik untuk mendukung pertumbuhan perusahaan.  Imagine…presume…menciptakan perusahaan tetap terus hidup tumbuh dan berkembang.

Ruang dan Waktu : Ketidakpastian di Masa Depan

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD., CRBC. /Tanggal: 19 Maret 2022

Seperti kita ketahui unsur risiko terdiri atas tiga unsur, yaitu adanya peristiwa (event), peluang (probability) dan dampak (impact). Peristiwa atau kejadian merupakan data yang dapat diolah menjadi informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan. Perusahaan sebagai sebuah entitas yang berorientasi bisnis berprinsip profit-oriented dalam setiap aktivitasnya sehari-hari dihadapkan  dalam berbagai situasi peristiwa. Sebagai praktek terbaik, peristiwa dalam aktivitas perusahaan lazim disebut sebagai aktivitas operasional (day to day activities). Aktivitas operasional perusahaan diharapkan berjalan dengan lancar dan tanpa ada kendala yang dapat merugikan perusahaan. Aktivitas operasional perusahaan merupakan sebuah peristiwa (event) dimana hasil dari peristiwa bisa menguntungkan atau merugikan perusahaan (impact). Dimanapun tidak ada perusahaan yang mau merugi. Para eksekutif perusahaan akan seoptimal mungkin menciptakan laba untuk kelangsungan hidup perusahaan. Peristiwa dalam prakteknya berwujud proses operasional terjadi diantara dua kemungkinan (probability), praktek operasional berjalan secara baik atau sebaliknya proses operasional berjalan dengan kurang baik dan tidak menguntungkan.

Salah satu tugas para eksekutif adalah memperkirakan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan (future-oriented) sebagai langkah pencegahan terhadap kemungkinan adanya peristiwa yang merugikan perusahaan. Keuntungan dan kerugian ibarat dua sisi mata uang logam. Sebagai sebuah kontinum yang masing-masing berada di dua sisi yang berbeda. Memperkirakan peristiwa atau kejadian berada dalam kemungkinan dan akan berdampak baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak inilah yang harus dikelola (di-manage) oleh para manager di tingkat terbawah dalam hierarki perusahaan sampai dengan lini paling atas di kelompok top executive. Memperkirakan kejadian pada masa yang akan datang bukanlah hal mudah. Sebagai sebuah perkiraan bisa saja meleset (error-term). Oleh karena itu pendekatan-pendekatan secara ilmiah digunakan untuk memperkirakan sebuah kejadian untuk antisipasi terhadap risiko yang kurang menguntungkan. Baik pendekatan kualitatif, semi-kuantitatif atau pendekatan kuantitatif.

Risiko muncul dari adanya ketidakpastian dimasa depan. Risiko berada didalam interval situasi yang pasti (certainty) dan situasi yang tidak pasti (uncertainty). Berbicara ketidakpastian pasti akan berbicara mengenai kemungkinan atau peluang. Peluang dapat diukur dengan menggunakan cara numerik atau metrik. Pertanyaannya adalah berapa peluang untuk sebuah kejadian dapat terjadi atau tidak terjadi? Timbul masalah ketidakpastian. Dalam konteks proses operasional di sebuah perusahaan ketiga unsur risiko yaitu peristiwa, peluang dan dampak berada dan dibatasi oleh ruang (space) dan waktu (time). Ketiga unsur risiko akan selalu berada didalam ruang (space) dan waktu (time) tertentu. Menurut kamus Merriam-Webster ruang (space) adalah “a period of time” atau “a limited extent in one, two, or three dimensions : distance, area, volume” . Enterprise Risk Management memberikan sebuah pendekatan bahwa risiko tidak dapat dikotak-kotakan. Risiko didalam perusahaan harus menjadi satu kesatuan. Sebagai pendekatan, di ibaratkan “ruang” dalam sebuah perusahaan misalnya bagian sumber daya manusia, bagian keuangan, bagian operasional dan bagian pemasaran. Di dalam “ruang-ruang” ini pada saat waktu tertentu (time) di masa yang akan datang dapat menimbulkan kerugian (karena sebuah peristiwa tertentu) jika tidak diantisipasi sebelumnya. Risiko dalam setiap ruang (space) tentu akan berbeda-beda. Sebagai contoh perbandingan yang agak ekstrim, tingkat risiko yang dihadapi oleh seorang astronot yang sedang bekerja – misalnya memperbaiki satelit – di ruang angkasa adalah berbeda tingkat risikonya dengan seorang penyelam di dasar laut yang sedang bekerja memperbaiki kabel transmisi data bawah laut. Jika tidak ada ruang dan waktu ketiga unsur risiko tidak dapat diantisipasi. Setiap risiko yang akan muncul tergantung  “ruang” dan “waktu” dimana risiko tersebut berada. Manusia terikat serta dibatasi oleh ruang dan waktu. Demikian juga dengan risiko. Top executive perusahaan perlu menyesuaikan pendekatan teknik penilaian risiko yang memadai untuk estimasi risiko yang dihadapi oleh perusahaan pada masa yang akan datang. Ruang (space) dan waktu (time) risiko berbeda-beda untuk setiap perusahaan.

Index Kesesuaian Model (Goodness of Fit Index): Pendekatan R-Squared

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Tanggal: 4 Juli 2021

Memperkirakan sebuah kejadian di masa depan bukanlah sebuah hal yang mudah. Kemungkinan peristiwa yang akan muncul bersifat acak/random dan berbagai spektrum kemungkinan dapat saja terjadi baik kemungkinan peristiwa yang baik ataupun kemungkinan peristiwa yang buruk. Potensi adanya kemungkinan yang menguntungkan atau bahkan sebaliknya munculnya kemungkinan yang merugikan. Dampak dari peristiwa pada masa yang akan datang dapat berdampak positif atau sebaliknya berdampak negatif. Hasil dari sebuah peristiwa yang sudah terjadi tidak dapat kita batalkan karena peristiwanya memang sudah terjadi dan sudah berlalu, kita hanya bisa mengoreksi dan memperbaiki peristiwa yang sudah terjadi, misalnya memperbaiki reaktor yang meledak. Dalam situasi ini langkah yang paling tepat adalah menghindari agar reaktor tidak meledak. Jatuhnya pesawat karena kurangnya pemeriksaan keamanan pesawat merupakan dampak negatif yang sangat fatal. Tenggelamnya kapal selam karena kurangnya pemeliharaan merupakan contoh lain dari kurangnya antisipasi terhadap kerusakan yang mungkin dihadapi. Kurangnya “imajinasi” untuk memprediksi kejadian di masa depan dapat menjadi salah satu penyebab adanya kerugian dan kegagalan.

Kemungkinan atau peluang (probability) dalam dunia risiko merupakan salah satu unsur dari risiko dan bergerak secara kontinum dalam interval kejadian yang tidak mungkin terjadi di satu sisi sampai dengan kejadian yang mungkin pasti terjadi di sisi lainnya. Unsur risiko sebagaimana kita ketahui terdiri dari tiga unsur utama, yaitu peluang (probability), peristiwa (event) dan dampak (impact). Risiko lazimnya mengarah kepada kemungkinan potensi yang berdampak negatif. Kemungkinan inilah yang menjadi fokus utama dalam manajemen risiko untuk memperkirakan adanya kejadian atau peristiwa pada masa yang akan datang. Peramalan mengenai peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dapat diperkirakan dengan metode ilmiah dan pengukuran tertentu dengan merancang pemodelan berdasarkan informasi yang ada secara historis untuk memperkirakan kemungkinan adanya potensi kejadian yang merugikan di masa depan. Informasi historis berdasarkan pendekatan deterministik seperti misalnya data rasio keuangan perusahaan dapat dijadikan sebagai landasan untuk melakukan estimasi kinerja perusahaan pada masa yang akan datang.

Meskipun masa depan sebuah misteri terikat dengan ruang dan waktu, sebagai langkah mitigasi risiko perlu dipersiapkan model pengukurannya. Pemodelan dirancang sedemikian rupa paling tidak mendekati kondisi sebenarnya di dunia nyata (real-world). Pemodelan disini berarti pemodelan secara matematis. Contoh pemodelan persamaan matematis yang populer untuk peramalan (forecasting) adalah persamaan regresi linear sederhana dengan persamaan y = a + bx. Tidak ada model yang sempurna. Akan tetapi paling tidak model mengikuti kaidah-kaidah yang dapat diterima secara ilmiah (science) melalui proses dan tahapan tertentu. Dalam contoh kita kali ini persamaan regresi linear sederhana diatas agar dapat digunakan sebagai alat untuk prediksi, maka persamaan regresi tersebut wajib mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang disebut asumsi klasik. Desain pemodelan secara matematis tentu saja tidak hanya terbatas pada persamaan regresi diatas. Banyak sekali pemodelan-pemodelan matematis yang dapat digunakan khususnya untuk dipergunakan sebagai salah satu alat untuk peramalan. Tentunya prediksi atau peramalan dengan menggunakan pemodelan persamaan matematis tidak terlepas dari adanya gangguan (error). Salah satu pendekatan untuk menguji apakah sebuah model matematis dapat digunakan sebagai peramalan adalah dengan menggunakan kriteria indeks kesesuaian model (goodness of fit index) atau sering disingkat dengan GoF Index. Koefisien determinasi ganda (coefficient of determination) atau R-squared lazim digunakan sebagai salah satu pendekatan GoF Index untuk menguji kesesuaian model persamaan matematis dalam teknik analisis data regresi linear baik yang sederhana maupun berganda dan digunakan juga dalam teknik analisis data yang menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM). Pengujian kesesuaian model persamaan matematis untuk peramalan dengan tepat dan benar akan mendukung peramalan yang lebih baik untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan di masa depan. Saat ini dengan kemajuan dan perkembangan komputer yang sangat cepat, banyak perangkat lunak menyediakan secara built-in otomatisasi hitungan R-squared.

Horizontal Loading dan Vertical Loading untuk mengurangi kebosanan karyawan dalam pekerjaan

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Content created:25-02-2018

Salah satu sumber kebosanan karyawan dapat disebabkan oleh pekerjaan yang sama dilakukan berulang-ulang atau terus-menerus. Peranan teknologi dengan sistem otomatisasinya dalam menyelesaikan tugas menambah rutinitas karyawan, meskipun tentu saja otomatisasi membantu mempercepat penyelesaian tugas dan pekerjaan sehari-hari. Disini teknologi memegang peranan yang sangat penting dalam proses otomatisasi, ada trade-off yang terjadi. Mekanistik dengan hasil lebih cepat, terotomatisasi dan menghasilkan kejenuhan kerja atau organik yang lebih “manusiawi”. Aliran scientific management atau disebut juga Taylorism menyatakan bahwa otomatisasi, salah satunya dapat menimbulkan kejenuhan dalam bekerja karena adanya penggunaan alat-alat mekanik sebagai alat bantu karyawan berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Kejenuhan ini menyebabkan adanya kecenderungan penurunan dalam kinerja atau bahkan perilaku karyawan dalam bekerja. Seperti misalnya meningkatnya kesalahan kerja, kelambatan dalam penyelesaian pekerjaan, atau bahkan dalam kasus yang lebih serius, memungkinkan terjadinya apa yang disebut sebagai perilaku menyimpang ditempat kerja (deviant workplace-behavior) (Robbins dan Judge, 2008). Oleh karena itu diperlukan job-redesign dalam pekerjaan. Robbins dan Judge (2008) memberikan terminologi empowering-employees yang diartikan sebagai pemberdayaan karyawan, dengan tujuan holistic-nya lebih untuk meningkatkan peran serta karyawan dalam mendukung suksesnya pencapaian tujuan perusahaan.

Beberapa cara dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi tingkat kebosanan karyawan dalam pekerjaannya terutama untuk jenis pekerjaan yang rutin. Dua diantara cara-cara tersebut adalah apa yang disebut dengan horizontal loading dan vertical loading. Horizontal loading atau dalam beberapa literatur manajemen sumber daya manusia disebut juga dengan istilah job enlargement atau perluasan pekerjaan, yaitu secara tradisional diasosiasikan sebagai suatu variasi  dan diversitas mengenai job content untuk menambah komitmen dan ketertarikan karyawan terhadap pekerjaan serta mengurangi kemotononan (monotony) dalam pekerjaan (William dan Schoderbek, 1986). Suatu tindakan menambah beban pekerjaan kepada pekerja pada tingkat pekerjaan yang sama dengan  pekerjaan yang dikerjakan sekarang. Contoh, seorang staf yang bertugas sebagai typing mendapat tugas tambahan untuk mengarsip surat-surat adalah salah satu bentuk horizontal loading. Sedangkan vertical loading atau disebut juga job enrichment, merupakan sebuah pengayaan pekerjaan dengan cara menambah tugas-tugas kepada pekerja pada tingkat pekerjaan yang lebih tinggi. Contoh, seorang office boy mendapat tugas untuk mengarsip surat-surat adalah salah satu bentuk vertical loading. Tugas tambahan ini akan menambah tanggung jawab office boy dengan tanggung jawab yang lebih tinggi dari pekerjaan sebelumnya (Bangun, 2012:98). Baik horizontal loading maupun vertical loading akan menggurangi rasa bosan karyawan terhadap pekerjaanya serta akan menambah knowledge, skills dan attitude karyawan yang bersangkutan, dan outcome-nya adalah motivasi dan kepuasan kerja karyawan diharapkan akan semakin meningkat.

Literatur:

  1. Reif, William E dan Schoderbek, Peter P. Job Enlargement: Antidote to Apathy.Management of Personnel; Quarterly (pre-1986) pg.16.
  2. Robbins, Stephen P. dan Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi (Organizational Behavior). Buku 1. Edisi 12. Penerbit Salemba Empat. Jakarta
  3. Wilson, Bangun. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Erlangga. Jakarta.

 

Implan Fit-Internal dan Fit-External: Membangun Kinerja Karyawan

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Content created:20-06-2017

Pencapaian tujuan strategis perusahaan harus dipahami, dimengerti dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran dalam sebuah perusahaan. Hierarki perusahaan dari level tertinggi (Top Managerial-Level) sampai dengan tingkatan paling bawah (Floor Managerial-Level) harus dapat memahami tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Menurut pandangan berbasis sumber daya, perusahaan dapat mengembangkan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan melalui penciptaan nilai melalui sebuah cara yang langka dan sulit ditiru oleh para pesaing. Sumber daya manusia (SDM) merupakan aset tak terlihat yang menciptakan nilai pada saat ditanam kedalam sistem operasional dengan cara meningkatkan kemampuan perusahaan untuk menghadapi lingkungan yang bergejolak (Chang dan Huang, 2005). Prioritas strategis meliputi desain pekerjaan berbasis tenaga kerja yang fleksibel, praktek peningkatan kualitas, kompensasi karyawan, pemberdayaan dan insentif. Huselid (1997) berpendapat bahwa strategi sumber daya manusia dirancang untuk mendiagnosis kebutuhan strategis perusahaan dan pengembangan bakat terencana yang diperlukan untuk menerapkan strategi bersaing dan mencapai tujuan operasional (Chang dan Huang, 2005).

Daya saing perusahaan melalui penguatan kemampuan karyawan yang ditanamkan didalam tatanan struktur perusahaan akan mampu dan diharapkan menjadikan perusahaan memiliki keunggulan dibandingkan dengan para pesaingnya. Konfigurasi kemampuan karyawan dengan  cara meningkatkan kompetensi karyawan baik dari aspek keahlian dan pengetahuan dalam penguasaan proses operasional perusahaan dan juga ditambah dengan penguatan mental dengan tujuan untuk membentuk sikap yang tahan banting dan pantang menyerah dalam mengatasi segala bentuk permasalahan yang ada. Karyawan dengan kualitas tinggi yang dimiliki perusahaan akan membawa perusahan mencapai kekuatan bersaingnya.  Perlu dukungan manajemen puncak untuk proses penguatan dan pembentukan karakter-karakter sumber daya manusia berkualitas yang berkesinambungan. Organisasi pembelajaran (learning organization) memaparkan bahwa sebuah organisasi berjalan secara dinamis dan terus menerus melakukan serangkaian pengembangan dan inovasi. Tidak saja pengembangan terhadap produk atau jasa itu sendiri, akan tetapi juga pengembangan sumber daya manusianya. Karyawan yang memiliki tujuan pembelajaran akan memiliki komitmen yang tinggi untuk mencapai sasaran yang sudah ditetapkan oleh perusahaan (Mello, 2011).

Dalam pandangan berbasis sumber daya perusahaan (RBV/Resource-Based View), dianjurkan agar organisasi memperoleh keunggulan kompetitif dengan menarik dan mempertahankan SDM terbaik, universal dan menggunakan model kontingensi kinerja-SDM (Katou, 2009). Hasil kinerja SDM-dimana kinerja-menurut Dyer dan Reeves (1995) mengacu pada langkah-langkah output, yaitu retensi meningkat, misalnya dengan cara mengurangi absensi, meningkatkan produktivitas, mutu produk dan pelayanan (Baptiste, 2008). Keselarasan dalam unit dimana karyawan tersebut bekerja dan keselarasan dengan bagian lainnya dalam perusahaan tersebut. Welbourne dan Cyr (1999) berargumen bahwa perusahaan perlu menyelaraskan sistem HR  (fit-internal) dengan operasional dan tujuan strategisnya (fit-external) yang akan menghasilkan keselarasan untuk membangun hubungan yang lebih erat antara SDM dan fungsi lainnya (Chang dan Huang, 2005).

Literatur:

  1. Baptiste, Nicole Renee. 2008. Tightening the link between employee well-being at work and performance. A new dimension for HRM Graduate Business School. Manchester Metropolitan University, Manchester, UK.
  2. Chang, Wan-Jing April dan Tung Chun Huang. 2005. Relationship between  Human Resources Management and Firm Performance. International Journal Manpower, 26, 5. ABI/Inform Research.
  3. Katou, Anastasia A. 2009. The Impact of Human Resource Development on Organizational Performance: Test of a Causal Model University of Macedonia, Greece.
  4. Mello, Jeffrey A. 2011. Strategic Management of Human Resources. South Western. Cengage Learning. Third Edition.

Performance Management: Komponen Penting Manajemen Kinerja

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Content created: 11-01-2016

Manajemen kinerja atau dalam istilah manajemen sumber daya manusia disebut performance management diartikan sebagai sebuah proses identifikasi, pengukuran dan pengembangan kinerja seseorang dan kelompok serta menyelaras kinerja dengan tujuan strategis perusahaan. Dua komponen utama dalam manajemen kinerja adalah, pertama manajemen kinerja merupakan sebuah proses berkesinambungan dimana pengukuran kinerja dilakukan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan dan tujuan organisasi. Komponen kedua adalah bahwa manajemen kinerja harus selaras serta mendukung tujuan organisasi. Diperlukan umpan balik (feedback control) untuk mengukur seberapa besar pencapaian kinerja telah dilakukan. Pengertian performance management dengan performance appraisal harus dibedakan. Performance appraisal merupakan sebagian komponen dari performance management, artinya performance management mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari performance appraisal. Performance appraisal mengukur atau menilai kekuatan dan kelemahan seseorang, dalam hal ini karyawan. Sedangkan performance management mengukur kinerja karyawan sekaligus menyelaraskan serta menyesuaikan dengan pencapaian tujuan organisasi (Aguinis, 2013:2).

Umpan balik dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan sebuah kinerja. Untuk kepentingan hal tersebut diperlukan standar kinerja. Manajemen kinerja perlu menerapkan standar baku yang menjadi landasan kerja bagi sebuah organisasi. Manajemen kinerja dapat dilakukan hanya apabila standar kerja sudah diterapkan. Standar kerja dapat dilakukan dengan menggunakan standar waktu, standar kuantitas, standar kualitas, standar moneter atau dalam bentuk lainnya yang menjadi dasar pengukuran sebuah aktifitas (job activity). Kinerja harus dibandingkan dengan standar. Dalam praktek standar ini dapat berbentuk target tertentu terhadap sebuah aktifitas kerja misalnya. Cukup sulit jika sebuah organisasi/perusahaan menerapkan sebuah pencapaian kinerja yang diinginkan tanpa terlebih dahulu membuat standar kerja yang disepakati dan diketahui oleh seluruh karyawan. Sosialisasi dan pemahaman dari karyawan, team kerja dan manajemen diperlukan untuk suksesnya menerapkan manajemen kinerja. Faktor-faktor krusial (key success-factor) penilaian kinerja atau performa haruslah ditentukan dan dipersiapkan sebelum pengukuran kinerja dilakukan.

Organisasi khususnya yang berorientasi kepada laba (profit-oriented) seperti halnya perusahaan untuk menghadapi persaingan memerlukan standar kinerja yang baik sebagai fondasi utama dalam pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan dengan menggunakan strategi tertentu. Perusahaan-perusahaan jepang misalnya menerapkan sebuah pedoman yang disebut kaizen atau dalam bahasa inggris disebut juga continuous-improvement, yang artinya perbaikan secara terus menerus untuk mengurangi kesalahan kerja, mengurangi pemborosan dan mengurangi atau bahkan menghilangkan cacat sebuah produk (zero-defect). Sejalan dengan pendapat Aguinis diatas bahwa kinerja dapat dilihat sebagai sebuah proses yang bersifat terus-menerus /berkesinambungan untuk -sekali lagi- tercapainya tujuan organisasi/perusahaan. Dilengkapi dengan sebuah sistem pengendalian internal, salah satunya dalam bentuk monitoring, untuk membantu tercapainya kinerja yang diharapkan oleh perusahaan. Sebagai sebuah proses yang menilai kualitas kinerja sistem dari waktu ke waktu (COSO, 1985-2015).

Literatur:

  1. Aguinis, Herman. 2013. Performance Management. International Edition. Third Edition. Pearson. Prentice Hall.
  2. Internal Control: Integrated Framework. The Committee Of Sponsoring Organizations Of The Treadway Commission (COSO). 1985-2015. All Rights Reserved.

Pendekatan Resolusi Konflik Organisasi: Pandangan Manajerial

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Content created: 09-11-2015

Secara etimologi konflik berasal dari kata configere (Latin) yang artinya saling memukul. Menurut Alice Pescuric (Shari Caudron, 1998) manajemen konflik urutan ke 7 dari 10 tugas seorang manajer. 20% waktu manajer dihabiskan untuk menyelesaikan konflik (Susan Meyer, 2004). Konflik dapat bersifat merusak ataupun bahkan bersifat membangun. Dari konflik konstruktif menjadi destruktif. Konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik (Wirawan, 2010). Keadaan atau kondisi dimana ada perbedaan pendapat atau perbedaan dalam pandangan antara beberapa orang, dalam suatu kelompok atau organisasi. Sikap saling mempertahankan diri diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan  berbeda untuk mencapai satu tujuan yang mana mereka  berada  dalam posisi yang berlawanan dan bukan bekerja sama. Menurut Stephen P. Robbins konflik adalah sebagai suatu proses dimana A melakukan aksi yang berusaha menghalangi tujuan yang akan dicapai oleh B sehingga mengakibatkan frustasi pada B dalam mencapai tujuannya atau dalam melanjutkan kepentingannya.

Konflik dalam prakteknya menghasilkan dampak positif seperti meningkatkan produktifitas karyawan, menambah semangat kerja dan menciptakan situasi persaingan yang kondusif. Sebaliknya konflik juga dapat mengakibatkan dampak negatif berupa permusuhan, gairah kerja hilang, sikap apatis, dan paling berbahaya dapat menurunan kinerja. Dari sudut pandang para ahli, konflik dapat bersifat membangun atau sebaliknya bahkan dapat menghancurkan kekuataan internal sebuah perusahaan.

Stephen P. Robbins (2008) memberikan tiga pandangan mengenai konflik yaitu:

(1) Traditional point of view. Menurut pandangan ini konflik merugikan dan bersifat negatif. Konflik harus dihindari menurut pandangan tradisional. (2) Human relation view. Konflik bersifat netral. Dalam kondisi dan situasi tertentu konflik dibutuhkan dan di kondisi lainnya konflik tidak dibutuhkan. (3) The interactionist view. Konflik baik dan diperlukan untuk perubahan (change of agent).

Kemudian bagaimana sebaiknya sikap para manajer dalam menghadapi konflik yang terjadi, khususnya konflik yang terjadi diantara bawahan (sub-ordinate) yang disupervisi oleh manajer yang bersangkutan? Memahami akar permasalahan yang terjadi, buat analisis mengapa konflik timbul dan munculkan beberapa kemungkinan penyelesaian masalah, kemudian lakukan pemilihan (option) yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik dan terakhir buatlah regulasi dan aturan yang jelas untuk mengatasi konflik yang mungkin timbul pada masa yang akan datang. Membangun komunikasi internal dan meningkatkan koordinasi organisasi baik horizontal (peer to peer) diantara unit/departemen maupun secara vertikal (management to front-line/top-down, vice versa) akan membantu dalam penyelesaian konflik (Lipsky dan Ariel, 2010). Cara yang paling populer adalah dengan melakukan negosiasi -“duduk satu meja”- dengan para pihak yang konflik dengan menghadirkan satu pihak sebagai mediator yang netral.

Literatur:

  1. Lipsky, David B. Dan Ariel C. Avgar. The Conflict Over Conflict Management. Dispute Resolution Journal. Copyright American Arbitration Association. New York. United States. ABI/Inform Research. 2010.
  2. Robbins, Stephen dan Timothy A. Judge. Organization Behavior. Buku 1. Edisi 12. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. 2008.
  3. Wirawan. Manajemen Konflik. Teori, Aplikasi dan Penelitian. Salemba Humanika. Jakarta. 2010.

Empat Gaya Kepemimpinan Model Hersey-Blanchard

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Content created: 03-08-2015

Kesuksesan sebuah organisasi tidak terlepas dari peran dan kepiawaian para atasan dalam memimpin bawahannya. Perusahaan besar dan ternama seperti Apple berhasil menjadi perusahaan yang sangat berhasil dalam lini bisnis teknologi berkat “tangan dingin”  dan kepemimpinan Steve Jobs. General Electric menjadi besar berkat kepemimpinan yang jeli Jack Welch. Bahkan Robby Djohan mantan CEO Bank Niaga, merupakan contoh pemimpin yang berhasil menggerakan dan memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap perusahaannya dengan gaya kepemimpinannya masing-masing. Lalu seperti apakah gaya kepemimpinan yang harus dipilih oleh seorang atasan? Menentukan gaya kepemimpinan yang manakah yang paling baik bagi seorang manajer memang cukup sulit. Situasi dan kondisi keputusan dalam perusahaan dimana para manajer memimpin dapat mempengaruhi gaya kepemimpinan seseorang. Itulah apa yang disebut dengan kepemimpinan kontingensi. Situasi dan kondisi yang berbeda memerlukan gaya pengambilan keputusan dan tentunya gaya kepemimpinan yang berbeda. Dalam prakteknya, kepemimpinan yang efektif diukur melalui pendekatan tercapainya tujuan organisasi atau tercapainya target yang sudah ditetapkan oleh organisasi. Kepemimpinan yang efektif dapat diukur melalui persepsi dan pandangan para sub-ordinateyang disupervisi oleh atasannya. Apabila para bawahan menanggapi kepemimpinan dengan baik, maka penerimaan dari pengarahan atau perintah seorang pemimpin akan diikuti oleh oleh para bawahannya.

Definisi kepemimpinan (leadership) sangat beragam baik menurut para praktisi maupun akademisi. Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai sebuah aktifitas manajerial yang mempengaruhi sub-ordinateuntuk mencapai tujuan organisasi (Hur, 2008:1). Sedangkan menurut Lee Kim Lian dan Low Guan Tui kepemimpinan adalah didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi bawahan untuk melaksanakan tugas (Lian dan Tui, 2012:3). Hersey dan Blanchard menawarkan pilihan gaya kepemimpinan berdasarkan bagaimana sebuah gaya kepemimpinan disadari oleh para manajer dan juga oleh para bawahannya (Acee, 1990:32). Menurut Hersey dan Blanchard, kepemimpinan adalah setiap upaya seseorang yang mencoba untuk memengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok. Upaya ini dilakukan untuk mengintegrasikan antara tujuan individu dan kelompok dengan tujuan organisasi secara keseluruhan. Hersey dan Blanchard memberikan pedoman empat model gaya kepemimpinan untuk berbagai tingkat keahlian para bawahan. Pertama, yaitu pengarahan (directing) digunakan oleh atasan dalam hal karyawan belum memiliki pengalaman yang cukup dalam menyelesaikan pekerjaannya. Kedua, pembekalan (coaching) digunakan jika karyawan telah memiliki pengalaman yang cukup dalam menyelesaikan pekerjaan. Ketiga, dukungan (supporting), gaya memimpin ini digunakan oleh atasan dalam hal karyawan telah mengenal teknik-teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang baik dengan atasannya dan terakhir pendelegasian (delegating) digunakan oleh atasan apabila karyawan telah memahami dengan baik tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan, sehingga mereka layak untuk menerima pendelegasian tugas dari atasannya. Menurut Hersey dan Blanchard keempat model gaya kepemimpinan ini asumsi dasarnya adalah perilaku kepemimpinan seseorang terdiri dari dua komponen utama yang tidak saling tergantung satu sama lain, yaitu dalam bentuk komando (directive-behavior) dan dalam bentuk dukungan (supportive-behavior) (Irgens, 1995: 36).

Literatur:

Acee, Anna. M. 1990. What Is The Head Nurses’ Leadership Style And Effectiveness In Self-Report And Reports By Staff As Measured By Hersey  And Blanchard’s Lead Instrument and Human Synergistic’s Management Effectiveness Profile System. Columbia University Teachers College. Copyright © 1990 by Acee, Anna, M. All Rights Reserved.

Hur, Mann Hyung. 2008. Exploring The Difference in Leadership Styles: A Study of Manager Task, Follower Characteristics, and Task Environment in Korean Human Service Organizations. Konkuk University. Seoul. Korea.

Irgens, O.M. 1995. Situational Leadership: a modification of Hersey and Blanchard’s model. Leadership & Organization Development Journal; 1995; 16, 2; ABI/INFORM Research. Hal. 36. Norway.

Lian, Lee Kiam dan Low Guan Tui. 2012. Leadership Styles and Organizational Citizenship Behavior: The Mediating Effect of Subordinates’ Competence and Downward Influence Tactics. Vesseltech Engineering Sdn Bhd. Journal of Applied Business and Economics.

PLS-SEM Path Modeling : Factor Loading Mode A dalam kondisi Konstruk Stand-Alone

Oleh : Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Content created: 26-04-2015

Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS-SEM) dibentuk oleh dua sub-struktur utama, yaitu outer model dan inner model. Outer model dikenal sebagai model pengukuran (Measurement Model) sedangkan inner model disebut juga model struktural (Structural Model). PLS-SEM sebagai Causal Modeling-Approach (Ringle et al., 2010) merupakan teknik analisis generasi kedua untuk analisis multivariat dan pengujian hubungan causal antar variabel yang dilakukan secara simultan. Variabel dalam dunia PLS-SEM dikenal dengan istilah konstruk (Construct). Konstruk terbagi menjadi dua elemen, yaitu konstruk eksogen dan konstruk endogen. Konstruk atau Latent Variable (LV) adalah variabel yang tidak dapat diuji secara langsung (unobserved variable). Pengukuran LV diwakili (proxy) dengan menggunakan konfigurasi sejumlah indikator untuk block LV yang sama. Indikator (indicator) atau Manifest Variable (MV) untuk mengukur LV tertentu merupakan variabel yang dapat diukur secara langsung (observed variable). Kekuatan hubungan (korelasi) LV dengan MV diukur dengan factor loading dalam batas kriteria pengukuran (cut-off value) tertentu yang dijadikan sebagai dasar acuan (base-line).

PLS-SEM memiliki dua tipe algoritma melalui prosedur pengulangan (iterative), yaitu Outer model yang terdiri atas reflective-model (outward directed-model) dan formative-model (inward directed-model). Reflective-model dikenal sebagai Mode A, sedangkan formative-model disebut Mode B. Model campuran (Mixture-Model) disebut Mode C, yaitu merupakan gabungan/campuran antara Mode A dan Mode B dalam persamaan struktural. Model campuran dikenal juga sebagai MIMIC-Model. Dalam reflective-model setiap indikator dipengaruhi oleh LV dan merupakan factor model, sebaliknya dalam formative-model LV dipengaruhi oleh setiap indikator dan membentuk model komposit (composite model). Cara pengujian (Assessment) model indikator reflektif dan model indikator formatif adalah berbeda dan menjadi sesuatu hal yang krusial dalam PLS-SEM. Sebelum pengujian hipotesis untuk model struktural dilakukan dalam analisis PLS-SEM, model pengukuran (outer model) terlebih dahulu harus dievaluasi validitas dan reliabilitas kelayakan modelnya.

Model reflektif (Mode A) dimana indikator dipengaruhi oleh LV dalam kondisi stand-alone (LV tidak dihubungkan melalui anak panah dengan LV lainnya dalam persamaan struktural) hasilnya merupakan dan serupa dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Dimana score ini menunjukkan nilai loading tertentu antara indikator pengukur dengan LV dalam block yang sama. Status stand-alone melalui metode PCA untuk konstruk model reflektif dapat dilakukan dengan bantuan software statistik (misalnya menggunakan SPSS atau Minitab) untuk melihat nilai loading faktor mana dari indikator model reflektif yang menunjukkan nilai yang valid sebagai pengukur konstruk (LV). Dilain pihak kondisi stand-alone LV Reflective-Model tentu saja dapat dilakukan dengan menggunakan software-package PLS-SEM dengan cara menjalankan prosedur algoritma (Run-PLS Algorithm) pada saat LV dihubungkan dengan vektor indikatornya. Nilai loading dijadikan sebagai barometer pengukuran dan akan menghasilkan ukuran yang sama, baik dilakukan dengan metode PCA maupun dengan Algoritma PLS-SEM untuk ukuran sampel tertentu. Menurut Vinzi  dan rekan-rekannya (2010) PLS-SEM adalah teknik analisis non-parametrik yang bersifat soft-modeling (Wong, 2013), dan sesuai pendapat Chin dan Newsted (1999) PLS-SEM bertujuan untuk prediction-oriented (Wetzels et al., 2009). PLS-SEM dapat berfungsi dengan baik untuk mengkonfirmasi teori melalui pengamatan factor loading dalam kondisi stand-alone dan menghasilkan nilai pengukuran yang sama seperti halnya dengan metode yang dijalankan melalui prosedur Principal Component Analysis.

Literatur:

  1. Wetzels, Martin., Gaby Odekerken-Schroder dan Claudia Van Oppen. Using PLS-Path Modeling For Assessing Hierarchical Construct Models: Guideline And Empirical Illustration. Mis Quarterly. Vol. 33 No. 1, pp . 177-195/March. 2009.
  2. Kay Wong, Ken Kwong. Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM) Techniques Using SmartPLS. Marketing Bulletin, 2013, 24, Technical Note 1.
  3. Ringle, Christian M., Marko Sarstedt dan Erik A. Mooi. Response-Based Segmentation Using Finite Mixture Partial Least Squares Theoretical Foundation and an Application to American Customer Satisfaction Index Data. R. Stahlbock et al. (eds.), Data Mining, Annals  of Information Systems 8, 19. DOI 10.1007/978-1-4419-1280-0 2. Springer  science+Business Media, LLC 2010.

PLS-SEM Path Modeling: Pendekatan Eksperimen Arccos Melalui Rotasi Faktor

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD. dan Irsyad Aslam (Mahasiswa Manajemen-FEB Unsoed)/Content created: 26-04-2015

Konstruksi inner-model dalam analisis PLS-SEM terdiri dari sejumlah blok, dimana blok tersebut kemudian dihubungkan dengan anak panah dan membentuk sebuah jalur (path) persamaan struktural. Sebagai contoh katakanlah model persamaan struktural yang dibangun terdiri atas dua konstruk, konstruk pertama sebagai konstruk eksogen dan konstruk kedua sebagai konstruk endogen. Jika dihubungkan dengan anak panah dari eksogen ke endogen maka akan terbentuk model persamaan struktural. Arah panah dalam PLS-SEM bersifat rekursif (recursive) atau satu arah. PLS-SEM tidak mengenal arah panah dua arah (non-recursive). Arah panah bolak balik (feedback loop-arrow) tidak dikenal dalam PLS-SEM. Model rekursif PLS-SEM selalu menghasilkan model yang indentified (Chin, 2002). Sebagai contoh misalnya dalam model persamaan struktural tadi hanya ada dua konstruk, konstruk eksogen dan konstruk endogen, maka dalam inner-model yang bersangkutan ada dua blok. PLS-SEM memberikan istilah blok untuk konstruk yang ada dalam inner-model. Blok dalam PLS-SEM digunakan untuk membedakan satu konstruk dengan konstruk lainnya dalam model persamaan struktural. Blok dalam PLS-SEM diukur dengan dua cara algoritma, yaitu dengan reflective-way atau dengan formative-way. Teorilah yang mendukung sebuah konstruk apakah diukur secara reflektif atau formatif. Theory-driven akan memperkokoh fundamental dalam pembentukan model persamaan struktural. Model dikatakan sebagai model fit apabila rancangan model didukung oleh data berdasarkan bukti empiris (data-driven). Rotasi blok untuk inner-model dijalankan secara simultan dengan menggunakan algoritma berulang. Indikator disebut juga observed variable atau variabel manifes berperan sebagai variabel pengukur konstruk yang bersangkutan. Konstruk minimal memiliki satu indikator. Rindskopf (1984) menjelaskan konstruk yang tidak memiliki indikator atau disebut juga phantom variables tidak dapat di jalankan dalam PLS-SEM (Henseler et.al. 2015).

Blok untuk konstruk dalam PLS-SEM dirotasi sedemikian rupa untuk memperoleh kondisi konvergen sebagai solusi awal (initial solution) model. Konvergen konstruk dengan aproksimasi vektor bobot outer-model sebesar 0,001 atau kurang (Ringle et al. 2010). Rotasi faktor terdiri atas dua jenis rotasi, yaitu rotasi ortogonal (orthogonal rotation) dan rotasi oblique (oblique rotation). Rotasi ortogonal memutar faktor diantara sumbu-sumbu faktor yang bersangkutan sebesar 90 derajat. Sedangkan rotasi oblique memutar sumbu-sumbu faktor tidak sebesar 90 derajat. Rotasi ortogonal berasumsi faktor tidak berkorelasi, dilain pihak rotasi oblique atau rotasi miring berasumsi faktor-faktor saling berkorelasi. Nilai loading untuk reflective-way konstruk otonom mempunyai magnitude yang sama dengan cara analisis faktor dengan metode ekstraksi faktor menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Rotasi ortogonal dilakukan terhadap data yang memiliki matriks persegi atau bujur sangkar (elemen baris sama dengan elemen kolom), dimana syaratnya adalah matriks memiliki determinan lebih besar dari nol. Matriks ini disebut sebagai positive definite matrix. Asumsi rotasi oblique antar faktor adalah berkorelasi dan menghasilkan satu solusi unik konvergen agar lebih mudah diinterpretasikan. Paket software PLS-SEM secara otomatis akan melakukan rotasi oblique untuk full-model persamaan struktural (inner-model) melalui proses iteratif agar kondisi konvergen terpenuhi dan memaksimalkan nilai R-squared index untuk konstruk endogen.

Sebagai contoh dalam aplikasi PLS-SEM menggunakan software VisualPLS dengan dua buah konstruk, katakanlah terdapat dua buah indikator, yaitu x11 dan  x12  sebagai proxy untuk konstruk motivasi (X), masing-masing dengan loading sebesar 0,986 dan -0,986. Sedangkan dilain pihak, kita mempunyai indikator y11 dan y12 dengan loading masing-masing sebesar 0,707 dan -0,707 sebagai proxy untuk konstruk kinerja (Y). Kita asumsikan bahwa kedua konstruk tersebut berdiri sendiri (otonom) tanpa adanya korelasi diantara kedua konstruk. Nilai loading akan berubah apabila antar konstruk sudah dikorelasikan dan kemudian model berubah menjadi inner-model. Kondisi ini akan membedakan konstruk eksogen dengan endogennya. Dalam simulasi yang dilakukan terlihat bahwa kedua konstruk memiliki nilai loading yang berbeda dari sebelumnya, yaitu konstruk motivasi untuk indikator x11 sebesar -0.953 dan indikator x12 sebesar 0,999. Selain itu, konstruk kinerja juga mengalami perubahan, yaitu untuk y11 dan y12, berturut-turut memiliki loading sebesar 0,649 dan 0,761. Hal ini disebabkan oleh perputaran (rotation) sumbu faktor x dan sumbu faktor y dalam ruang dimensinya, yang mengakibatkan koordinat keempat loading yang dimiliki oleh kedua konstruk berubah sepenuhnya.

Untuk menguji bahwa sudut (angle) tiap indikator terhadap konstruknya sesuai dengan rotasi yang diinginkan—ortogonal atau oblique—kita dapat mencari secara matematis dengan menggunakan penghitungan konversi vektor ke dalam satuan sudut cos, yang selanjutnya diubah menjadi invers cos (arccos). Misalnya, kita ingin mengetahui seberapa besar sudut perputaran (rotation) indikator konstruk motivasi. Katakanlah vektor pertama kita sebut saja sebagai simbol a, diambil dari x11 sebelum rotasi dan x11 setelah rotasi sebesar masing-masing 0,986 dan -0,953. Berarti a = ( 0,986 ; -0,953 ). Vektor kedua—mengambil simbol b—didapat dari x12 sebelum rotasi dan juga x12 hasil rotasi sebesar masing-masing -0,986 dan 0,999. Maka b = (-0,986 ; 0,999).

Langkah pertama adalah mengkonversi kedua vektor (sebelum dan setelah rotasi) yang ada menjadi sudut cos. Hitunglah dot product dan magnitude (besaran) menggunakan kedua vektor yang ada. Kemudian, kita mencari sudut cos α antara vektor pertama dengan vektor kedua. Penghitungan akhir akan menunjukkan hasil cos α = -0.999722323742282. Langkah selanjutnya ialah mengkonversi sudut cos α yang telah diketahui menjadi invers cos atau biasa disebut arccos. Hasil dari arccos merupakan besaran sudut (angle) dalam satuan derajat dari kedua vektor tersebut.

Literatur:

  1. Chin, Wynne W. Partial Least Square For Researcher: An overview and presentation of recent advances using PLS approach. C.T Bauer College Business University Houston. 2002.
  2. Henseler, Jorg., Geoffrey Hubona, Pauline Ash Ray. Using PLS Path Modeling in new technology research: updated guidelines. Industrial Management & Data Systems Vol. 116 No. 1. Emerald Group Publishing Limited. 2016.
  3. Ringle, Christian M.,Marko Sarstedt dan Erik A. Mooi. Response-Based Segmentation Using Finite Mixture Partial Least Squares. Theoritical Foundations and an Application to American Customer Satisfaction Index Data. Springer Science+Business Media, LLC. 2010.
  4. VisualPLS Ver. 1.04b Software Package LVPLS Result: Partial Least-squares Parameter Estimation Convergence at Iteration Cycle No. 2. Outer Model Loading.

Memotivasi Karyawan dengan Pendekatan Skinnerian Conditioning

Oleh: Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Content created: 31-05-2015

Sebuah adagium menyebutkan “Banyak Jalan Menuju Roma”. Demikian halnya dalam memotivasi karyawan. Banyak jalan atau cara dilakukan dalam memotivasi karyawan untuk meningkatkan prestasi kerja. Motivasi disebut juga sebagai dorongan, motif merupakan sebuah driving-force (As’ad, 1987). Needs merujuk kepada motivasi (Weiner, 1990 dalam Chang dan Chang, 2012). Motivasi dibagi menjadi dua model yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan yang muncul dari dalam diri seseorang seperti keinginan untuk maju, pengakuan ataupun penghargaan. Sebaliknya motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang datang dari luar diri seseorang (Gagne dan Deci, 2005), misalnya kompensasi moneter dalam bentuk gaji.

Pendekatan B.F. Skinner (1937), Operant Conditioning atau selanjutnya menggunakan terminologi Skinnerian Conditioning menjelaskan bagaimana memotivasi seseorang melalui pembentukan perilaku yang “dikontrol oleh seperangkat konsekuensi” (Staddon dan Cerutti, 2003). Pembentukan perilaku (shaping behavior) digunakan dalam ranah ilmu perilaku organisasi dan pemberdayakan karyawan (empowering employee) dengan tujuan  untuk meningkatkan efektifitas suatu organisasi (Robbins dan Judge, 2008). Pembentukan perilaku Skinnerian Conditioning adalah sebuah proses rangsangan atau stimulus terhadap situasi dan kondisi tertentu yang diterima reseptor dalam hal ini karyawan, dimana stimulus kemudian direspons dan disadari oleh karyawan sebagai sebuah konsekuensi. Konsekuensi yang dirasakan oleh karyawan bisa menyenangkan atau tidak menyenangkan. Konsekuensi tersebut akan ditanggapi dalam bentuk sikap dan perilaku tertentu oleh karyawan yang bersangkutan pada masa yang akan datang. Sikap diartikan sebagai pernyataan evaluatif atau penilaian terhadap suatu objek, orang atau peristiwa. Sikap berbeda dari Perilaku. Sikap masih abstrak sedangkan perilaku sudah menjadi tindakan nyata (Hanggraeni, 2011). Pandangan pembentukan perilaku yang digagas oleh Skinner ditinjau dari perspektif “ada aksi-ada reaksi”. Rangsangan positif misalnya dalam bentuk penghargaan (recognition) akan menghasilkan reaksi yang positif. Sebaliknya rangsangan negatif misalnya dalam bentuk hukuman (punishment) akan menghasilkan reaksi negatif. Karyawan akan mengambil sikap positif jika ada stimulus yang positif dan vice-versa. Sebagai contoh karyawan bagian penjualan yang mencapai target penjualannya melebihi standar diberikan penghargaan, baik dalam bentuk moneter ataupun non-moneter. Penghargaan ini akan ditanggapi dengan positif oleh karyawan. Konsekuensinya, karyawan merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang menyenangkan. Pada masa yang akan datang karyawan diharapkan akan menanggapi dengan sikap dan kemudian direfleksikan dalam bentuk perilaku untuk pencapaian prestasi yang lebih baik dari sebelumnya. Proses sebaliknya (contrary), target penjualan tidak tercapai, stimulus yang diberikan adalah dengan tidak adanya penghargaan, akan direspons oleh karyawan sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan dan ini kemungkinan ditanggapi oleh karyawan pada masa yang akan datang sebagai suatu hal yang tidak menguntungkan baginya. Dari perspektif manajemen berorientasi hasil, motivasi tinggi karyawan menghasilkan semangat karyawan dalam bekerja. Penghargaan sebagai sebuah kebutuhan tingkat tinggi dan hal ini cocok dengan fundamental motivasi yang dibangun atas dasar hubungan manusiawi (Wan, 2010), atau human relation approach.

Literatur:

As’ad, Moh. 1987. Seri Ilmu Sumber Daya Manusia. Psikologi Industri. Liberty. Yogyakarta.

Chang, I-Ying dan Wan-Yu Chang. 2012. The Effect of Student Motivation On Learning Satisfaction. The International Journal  Of Organizational Innovation. Vol 4 Num 3 Winter.

Hanggraeni, Dewi. 2011. Perilaku Organisasi. Teori, Kasus dan Analisis. Cetakan Ke 1. Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta.

Gagne, Marylene dan Edward L. Deci. 2005. Self-Determination Theory and Work Motivation. Journal of Organizational Behavior. John Wiley & Sons, Ltd.

Robbins, Stephen P., dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi; Organizational Behavior. Salemba Empat. Jakarta.

Staddon, J.E.R., dan D.T. Cerutti. Operant Conditioning. 2003. Annual Review of Psychology. Proquest Nursing & Allied Health Source.

Wan, Ong Teong. 2010. Manajemen Hasil: Pengelolaan orang yang efektif untuk pencapaian hasil yang luar biasa. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Pendekatan kepemimpinan kontingensi: Model Leadership Continuum untuk menentukan orientasi gaya kepemimpinan atasan

Oleh : Vida S. Dadi, SE., MM., CRBD./Content created: 18-03-2015

Kepemimpinan telah dianggap sebagai salah satu komponen yang paling penting dalam keberhasilan organisasi. Maccoby (1979) menyimpulkan dari pengamatan bahwa kebutuhan perusahaan untuk bertahan hidup dan berkembang dalam dunia dengan meningkatnya persaingan, kemajuan teknologi, perubahan peraturan pemerintah, perubahan sikap pekerja, membutuhkan “tingkat yang lebih tinggi kepemimpinan daripada sebelumnya”. Ketika organisasi mengalami perubahan, adalah penting bahwa kepemimpinan organisasi mereka cukup untuk memenuhi tantangan tersebut (Landis et. al: 2014).

Kepemimpinan berkaitan dengan bagaimana seorang pemimpin dapat memotivasi dan menggerakan bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi, serta memberikan contoh yang baik kepada para bawahan seperti kejujuran, disiplin, integritas, cakap, kompeten dan pemimpin dapat dijadikan panutan dalam organisasi. Pendekatan kepemimpinan oleh para teoritisi dikemukakan untuk menentukan gaya kepemimpinan yang akan digunakan oleh para atasan. Evolusi teori dan riset kepemimpinan dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan trait, behavior dan contingency (Tirmizi, 2002:2). Beberapa pendekatan dilakukan oleh para teoritisi untuk menguraikan berbagai faktor yang  mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan oleh para atasan.

Salah satu pendekatan teori kepemimpinan adalah pendekatan situasional atau kontingensi (contingency) yang dikemukakan oleh Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt yang disajikan dalam bentuk rangkaian kesatuan kepemimpinan (leadership continuum). Leadership continuum atau continuum of leadership behavior terbagi menjadi dua sisi yaitu boss-centered leadership yang menunjukkan power yang lebih besar kepada para atasan dalam menggunakan wewenangnya dan subordinate-centered leadership yang memberikan wewenang dan kebebasan lebih besar kepada para bawahan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan dan mengijinkan para bawahan berperan serta dalam setiap pengambilan keputusan (Nollenberger: 2006). Melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Tannenbaum dan Schmidt, gaya kepemimpinan seorang atasan lebih mudah untuk dapat ditentukan. Teori kepemimpinan kontingensi adalah mengelola sudut pandang situasi atau keadaan dengan fokus  mengidentifikasikan variabel-variabel situasi yang menunjukkan gaya kepemimpinan yang paling tepat dan sesuai pada satu situasi tertentu (Zegaier, 2012:3). Pendekatan kepemimpinan model Tannenbaum dan Schmidt mempunyai dua kutub dimana salah satu kutub berorientasi kepada atasan dan di kutub lainnya berorientasi kepada bawahan.

Literatur:

Al-Zegaier, Hanadi. 2012. Estimating The Impact of Leadership Styles on Knowledge Management Application Strategies. Information System Department, Faculty of Economic and Administraticve Science, Applied Science University. Jordan.

Landis A., Eric., Maurice R. Harvey. 2014. A Synthesis of Leadership Theories and Styles. Journal of Management Policy and Practice.

Nollenberger, Karl. 2006. Combining Leadership & Management. Government Finance Review. ABI/FORM Research.

Tirmizi, Syed Aqeel. 2002. The 6-L Framework: A Model for Leadership Research and Development. Lahore University of Management Sciences. Lahore. Pakistan.

 

Copyright  © 2024 dataforisk. All rights reserved